Pada tahun 2004, negara Indonesia mengadakan pemilu yang diikuti oleh
24 partai politik. Perhatikan gambar di atas! Pemilu di Indonesia
dimulai pada tahun 1955 yang diikuti puluhan partai, organisasi masa,
dan perorangan. Masih ingatkah kalian bahwa setiap kali akan
diselenggarakan Pemilihan Umum diadakan kampanye dari masing- masing
partai politik peserta pemilu? Dalam kampanye tersebut dipaparkan
masing- masing program partainya. Hal ini merupakan pendidikan politik
bagi rakyat. Akan tetapi dalam kampanye seringkali ada kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan karena adanya pelanggaran dari aturan yang dibuat
bersama. Rakyat sering menjadi korban dari orang- orang yang tidak
bertanggung jawab ketika adanya arak- arakan kampanye. Walaupun
seringkali memakan korban dari kampanye yang merupakan rentetan dari
pemilu, namun Pemilihan Umum tetap diadakan sebab merupakan syarat
sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Indonesia sebagai
negara demokrasi mulai melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955.
Pemilu I tahun 1955 yang didambakan rakyat dapat meperbaiki keadaan
ternyata hasilnya tidak memenuhi harapan rakyat. Krisis politik yang
berkepanjangan akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959. Sejak itulah kehidupan bangsa Indonesia di bawah
kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi
Indonesia pasca Pengakuan Kedaulatan tersebut akan kita pelajari dalam
bab ini.
A Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI)
Seperti telah kalian pelajari pada bab II bahwa dengan melalui
perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya bangsa Indonesia memperoleh
pengakuan kedaulatan dari Belanda. Penandatanganan pengakuan kedaulatan
tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan diakuinya
kedaulatan Indonesia ini maka bentuk negara Indonesia adalah menjadi
negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan
Undang – Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang-
Undang Dasar RIS. Tentunya kalian masih ingat bahwa salah satu hasil
Konferensi Meja Bundar adalah bahwa Indonesia menjadi Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya setelah KMB kemudian dilaksanakan
pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember
1949. Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, yang
terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Adapun
tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
Sedangkan kesembilan daerah otonom itu adalah:
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
Negara-negara bagian di atas serta daerah- daerah otonom merupakan
negara boneka ( tidak dapat bergerak sendiri) adalah ciptaan Belanda.
Negara- negara boneka ini dimaksudkan akan dikendalikan Belanda yang
bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di dalamnya. Bentuk negara
federalis bukanlah bentuk negara yang dicita- citakan oleh bangsa
Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira- kira enam bulan,
suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus
1945 menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah
yang menjadi alasan bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan golongan mereka yang setuju
dengan bentuk negara Serikat (golongan federalis) semakin terlihat
kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang menjabat
sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan Westerling. Raymond
Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan rakyat di Sulawesi
Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada bulan
Januari 1950 menjadikan rakyat semakin tidak puas terhadap kondisi
pemerintahan RIS. Oleh karena itu rakyat Bandung menuntut dibubarkannya
pemerintahan negara Pasundan untuk menggabungkan diri dengan RI. Pada
bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang-undang darurat
yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris
Negara (RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian
diikuti oleh Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain.
Negara-negara bagian lain yang menyusul itu cenderung untuk bergabung
dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian saja dalam
RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan
RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden
Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI
menjadi negara kesatuan. Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI semakin
luas, maka diselenggarakanlah pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS,
Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur dari Negara Sumatera
Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara
wakil-wakil RIS yang juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di
Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai kesepakatan untuk kembali ke
Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan Piagam
Persetujuan, yang isinya sebagai berikut:
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan
dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses
kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang
Dasar RIS menjadi Undang- Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar
Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku
tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat itulah Negara
Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang
diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer.
Jadi berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet
Presidensiil.
B. Pemilihan Umum I Tahun 1955 di Tingkat Pusat dan Daerah
Semenjak Indonesia menggunakan sistem Kabinet Parlementer keadaan
politik tidak stabil. Partai-partai politik tidak bekerja untuk
kepentingan rakyat akan tetapi hanya untuk kepentingan golongannya saja.
Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen merupakan wakil-wakil partai
yang saling bertentangan. Keadaan yang demikian rakyat menginginkan
segera dilaksanakan pemilihan umum. Dengan pemilihan umum diharapkan
dapat terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga dapat
memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga terbentuk pemerintahan yang
stabil. Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet,
misalnya kabinet Alisastroamijoyo I bahkan telah menetapkan tanggal
pelaksanaan pemilu. Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut sudah jatuh
sebelum melaksanakan Pemilihan Umum. Akhirnya pesta demokrasi rakyat
tersebut baru dapat dilaksanakan pada masa pemerintahan Kabinet
Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat dilaksanakan dalam
dua gelombang, yakni :
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
Suatu pesta demokrasi nasional pertama kali yang diadakan sejak
Indonesia merdeka itu dilakukan oleh lebih dari 39 juta rakyat
Indonesia. Mereka mendatangi tempat-tempat pemungutan suara guna
menyalurkan haknya sebagai pemilih. Dalam pelaksanakannya, Indonesia
dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2.139
kecamatan, dan 43.429 desa. Dalam Pemilihan Umum tersebut diikuti oleh
banyak partai politik, organisasi, dan perorangan pun juga ikut,
sehingga DPR terbagi dalam banyak fraksi di antaranya keluar sebagai
empat besar adalah : (1) Fraksi Masyumi (60 anggota); (2) Fraksi PNI (58
anggota); (3) Fraksi NU (47 anggota); (4) Fraksi PKI (32 anggota).
Seluruh anggota DPR hasil Pemilu I tersebut berjumlah 272 anggota, yaitu
dengan perhitungan bahwa seorang anggota DPR mewakili 300.000 orang
penduduk. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Pada
tanggal 25 Maret 1956 DPR hasil pemilihan umum dilatik. Sedangkan
anggota konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956. Pemilihan
Umum I tahun 1955 berjalan secara demokratis, aman, dan tertib sehingga
merupakan suatu prestasi yang luar biasa di mana rakyat telah dapat
menyalurkan haknya tanpa adanya paksaan dan ancaman. Walaupun Pemilu
berjalan sukses akan tetapi hasil dari Pemilu tersebut belum dapat
memenuhi harapan rakyat karena masing- masing partai masih mengutamakan
kepentingan partainya daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu
pada waktu itu masih mengalami krisis politik dan berakibat lahirnya
Demokrasi Terpimpin.
C. Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkannya
Pada Pemilu I tahun 1955 rakyat selain memilih anggota DPR juga
memilih anggota badan Konstituante. Badan ini bertugas menyusun
Undang-Undang Dasar sebab ketika Indonesia kembali ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula di negara kita
diterapkan Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer.
Pertentangan antarpartai politik seringkali terjadi. Situasi politik
dalam negeri tidak stabil dan di daerah-daerah mengalami kegoncangan
karena berdirinya berbagai dewan, seperti Dewan Manguni di Sulawesi
Utara, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Tengah,
Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan
Selatan yang kemudian menjadi gerakan yang ingin memisahkan diri.
Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada
tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan
“Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya
terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan
PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan
fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada
kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi
ini dan berpenadapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal
harus diserahkan kepada konstituante. Karena keadaan politik semakin
hangat maka Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi
seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan di daerah kemudian memuncak
dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Setelah keadaan aman maka
Konstituante mulai bersidang untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Sidang
Konstituante ini berlangsung sampai beberapa kali yang memakan waktu
kurang lebih tiga tahun, yakni sejak sidang pertama di Bandung tanggal
10 November 1956 sampai akhir tahun 1958. Akan tetapi sidang tersebut
tidak membuahkan hasil yakni untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan
hanya merupakan perdebatan sengit.
Perdebatan-perdebatan itu semakin memuncak ketika akan menetapkan
dasar negara. Persoalan yang menjadi penyebabnya adalah adanya dua
kelompok yakni kelompok partai-partai Islam yang menghendaki dasar
negara Islam dan kelompok partai-partai non-Islam yang menghendaki dasar
negara Pancasila. Kelompok pendukung Pancasila mempunyai suara lebih
besar daripada golongan Islam akan tetapi belum mencapai mayoritas 2/3
suara untuk mengesahkan suatu keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137
UUD S 1950). Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante,
Presiden Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pihak yang pro dan militer mendesak
kepada Presiden Soekarno untuk segera mengundangkan kembali
Undang-Undang Dasar 1945 melalui dekrit. Akhirnya pada tanggal 5 Juli
1959 Presiden Sukarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat
Indonesia. Adapun isi Dekrit Presiden tersebut adalah:
1) pembubaran Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita
memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia
dari ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5
Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni: Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR –
GR). Dalam pidato Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus
1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang
terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL)
ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara
(GBHN). Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah
Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini
sering disingkat USDEK.
Dengan demikian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bernegara ini baik di
bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dalam bidang politik,
semua lembaga negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur
Nasionalis, Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi pemerintah
menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam
bidang impor hanya dikuasai orang- orang yang mempunyai hubungan dekat
dengan pemerintah. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, pemerintah
melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap sebagai bentuk
penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme (Nekolim) sebab
dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok Timur.
D Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai
tahun 1960 Indonesia mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari
keadaan politik nasional. Beberapa hal yang menjadi persoalan di
antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan
pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949
bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni
Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang merupakan pengalaman awal
tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat
merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena
parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya.
Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun
1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur
panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan
alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari
daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah
kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan
diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara pusat
dengan daerah kurang harmonis. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima
militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan
diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri
Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah
yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal
permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa
Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat
dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan
beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk
menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah
dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang
dilakukan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan
muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal
sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan
daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di
daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.
2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non
Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah-
pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya
mementingkan golongannya sendiri. Pada saat itu kabinet yang berkuasa
silih berganti. Dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4
buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun berganti
kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai
berikut.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi.
Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya
diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun
penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal
Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap
menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari
Parlemen.
b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo
(Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya,
Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni
dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan
dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act
(MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak
percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha
melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang
dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang
ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan
Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan
karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang
diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya
hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa
Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam
peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan.
Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat
negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi.
Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet
Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
d. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr.
Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun
banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan
Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada
tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan
dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang
diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi
dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri
(kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak
menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu
itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak
dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi juga tampak dalam
tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada
tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau
disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga
seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari
puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok
Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok
tersebut ternyata tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi
Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan
perdebatan ini akhirnya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang
berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik
nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda
perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap
pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun
1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama
dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai penggerak dalam
protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet Natsir dan
Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang
didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini
akhirnya pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha
pribumi.
Protes yang lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa
dengan alasan pusat tidak memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi
Utara dan Sumatera Utara pemerintah dianggap membiarkan
penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi penguasa-penguasa daerah.
Beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas dengan
alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu
kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di
daerah-daerah terbukti tampilnya perebutan kekuasaan di daerah oleh
pihak militer. Menurut pandangan mereka pemerintah pusat tidak cakap
dalam memerhatikan kepentingan daerah, tidak adil dalam pembagian
pendapatan ekspor dan terlalu birokratis dalam menyelesaikan sesuatu
urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak. Kelemahan-kelemahan pusat ini
nantinya akan berakibat munculnyapemberontakan di daerah-daerah.
Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan
kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad
Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada
tanggal 20 Desember 1956. Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh
terbentuknya Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan
kekuasaan ini selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan
Februari 1958 yang dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.” Adapun
secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan
pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai
berikut.
a. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949
adalah bahwa pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai
intinya. Ternyata pembentukan APRIS ini menimbulkan
ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik antara
golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara
bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada
tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin
gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan
ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui
sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan
negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung
gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL.
Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga melakukan
perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan
APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950
pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling
melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik
Angkatan Laut Belanda.
b. Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang
dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten
Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS
sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI
yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna
mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah
mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel
Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan
dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota
Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan
diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan
pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang
dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk
Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik
Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara
Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula
mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang
dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh
karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah
pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh
Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam
pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika
memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet
Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan
Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah. Setelah kota Ambon jatuh ke
tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke
hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.
d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi
pangkal permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah. Pertentangan ini semakin meruncing dan
terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan
pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi
perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai
pemberontakan PRRI-Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan
Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam
waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri.
Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut.
Perwira-perwira yang duduk di dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah
Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua Dewan Banteng dari Padang, Sumatera
Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan
Djambek. Pada tanggal 15 Februari 1958 pemberontakan mencapai puncaknya
ketika Achmad Husein memproklamirkan berdirinya “Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia” (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dan
Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRRI ini
selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur yang merupakan
gerakan separatis.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima
TT VII Timur mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan
daerah secara adil, yakni daerah surplus mendapat 70 % dari hasil
ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain Mayor
Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan
Permesta ini dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah.
Gerakan ini juga mendapat bantuan dari seorang penerbang sewaan
berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope. Untuk menumpas PRRI
di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah
mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi
yang dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah.
Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri
beserta anak buahnya. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di
Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi
Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal
18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan
pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat ditumpas. Adapun
sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas seruan
pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi
himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di
atas sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang
kurang harmonis. Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah
sampai awal tahun1960-an tidak stabil
Dari Crayonpedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar