Awal kemerdekaan Indonesia pernah mengalami sistem demokrasi
yang berbeda, yaitu sistem demokrasi terpimpin dan sistem demokrasi liberal.
Demokrasi parlementer
Istana
Westminster, "Ibu semua parlemen."
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan.
Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan,
yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi
tidak percaya. Berbeda
dengan sistem
presidensiil, di mana
sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya
pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya
pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung
atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh
karena itu, tidak ada pemisahan
kekuasaan yang jelas
antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa
yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.
Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem
presidensiil, karena
kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia
sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki
pembedaan yang jelas antara kepala
pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan
kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki
seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala
negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.
Negara yang menganut sistem pemerintahan
parlementer adalah Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan sebagainya.
Ciri-ciri sistem parlementer
Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:
- Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
- Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang.
- Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
- Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
- Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
- Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
Kelebihan dan kelemahan sistem parlementer
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
- Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
- Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
- Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
- Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
- Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
- Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
- Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya..
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang
baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh
dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada
partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955,
sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran
Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara
sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih
menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang
menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi
parlementer juga dirasa kurang efektif untuk mengatasi masalah pembangunan yang
semerawut di masa itu. Ini terjadi karena demokrasi parlementer menyebabkan
jatuh bangunnya kabinet akibat mosi tidak percaya golongan politik tertentu di
parlemen saat itu.
Demokrasi Terpimpin
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin, juga
disebut demokrasi terkelola, adalah istilah untuk sebuah pemerintahan
demokrasi
dengan peningkatan otokrasi. Pemerintahan negara dilegitimasi oleh pemilihan
umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk
melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama. Atau, dengan kata lain, pemerintah
telah belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat
melaksanakan semua hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik.
Walaupun mengikuti prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan
kecil terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi terpimpin, pemilih
dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan yang
dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang
berkelanjutan.
Istilah ini digunakan sebagai
referensi untuk periode politik tertentu di Indonesia.
Akhir-akhir ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di mana ia
diperkenalkan ke dalam praktek umum oleh pemikir dari anggota Kremlin,
khususnya Gleb Pavlovsky.
Pemberontakan
yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya
yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi
baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959
ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan
kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan
presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari
1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label "Demokrasi
Terpimpin".
Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan
yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak
aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul
di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955
dalam KTT
Asia-Afrika
untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada
akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat
kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai
Komunis Indonesia
(PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di
luar Uni Soviet dan China,
dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai
komunis seperti di negara-negara lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar